Oleh : Asrullah
Diskursus terkait rangkap jabatan Risma sebagai Walikota Surabaya dan Menteri Sosial yang juga baru saja dilantik untuk menggantikan Menteri Sosial non aktif sebelumnya yang tersandung kasus korupsi dana bansos, Juliari Batubara, menuai polemik dan problem di tengah tengah masyarakat karena dianggap cacat hukum secara legal requarement dan menciderai etika pejabat publik.
Pasalnya saat ini Risma masih berstatus sebagai Walikota Surabaya dan status barunya sebagai Menteri Sosial. Padahal jabatan keduanya sama-sama mengharamkan adanya rangkap jabatan yang terjadi. Secara legal perspective, Jabatan Menteri Sosial dan Walikota adalah masing-masing jabatan yang terkualifikasi sebagai pejabat negara. Hal ini termaktub dalam UU No. 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara pada pasal 122 yang menyatakan bahwa Menteri dan Walikota disebut sebagai pejabat negara.
Jabatan Menteri secara es itis adalah jabatan konstitusional yang kualifikasinya secara organik diatur dalam UU No. 39 Tahun 2008 Tentang Kementerian Negara. Menteri sebagai pembantu langsung Presiden yang mengkoordinasi satu bidang kementerian tertentu yang locus kerjanya menasional tentu membutuhkan kefokusan kerja dan bentuk ikhtiar menghindari konflik kepentingan yang ada. Karenanya pada Pasal 23 UU Kementerian Negara dicantumkan larangan seorang menteri untuk rangkap jabatan salah satunya sebagai pejabat negara lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Lebih lanjut konstruksi UU Kementerian Negara ini memang meniscayakan purifikasi terhadap hal-hal yang bersifat koruptif dan berpotensi memunculkan conflict of interest salah satunya dengan tidak rangkap jabatan, hal ini dimaktubkan pada Pasal 24 terkait alasan dapat diberhentikannya seorang menteri salah satunya pada huruf (d) “melanggar ketentuan larangan rangkap jabatan”.
Sementara itu, secara regulatif term, UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah dalam Pasal 76 huruf h secara expresive verbis menyatakan bahwa Kepala daerah dilarang untuk melakukan rangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya. Hal inilah yang dapat menjadi sandungan hukum sebab 2 UU terkait sama-sama melarang adanya rangkap jabatan pejabat negara, bahkan hal ini bisa berimplikasi terhadap delegitimasi pengangkatan Risma sebagai Menteri Sosial dan posisinya sendiri sebagai Walikota Surabaya. Alasan Risma terkait posisinya yang rangkap jabatan karena telah mendapatkan restu dan izin dari Presiden sama sekali tidak dapat dibenarkan (uncualified) dan diterima (unlawfull) sebab perintah norma UU tidak bisa disimpangi atau dikesampingkan ucapan atau bahkan izin presiden, sebab semua WN harus tunduk dan patuh pada UU termasuk presiden dan menteri itu sendiri.
Oleh karena itu, untuk mengakhiri krisis legitimasi ini, jika memang Risma conform pada posisinya sebagai mensos maka per waktu pelantikan seharusnya telah dibuatkan surat pemberhentian dari Kemendagri atau Surat Pengunduran diri oleh Risma sendiri, atau sesegera mungkin menerbitkan surat pemberhentiannya jika memang belum ada pemberhentiannya. Kedua, dengan demikian urusan pemerintahan Kota Surabaya akan diambil alih oleh Wakil Walikota Surabaya sebelum ditetapkan sebagai walikota defenitif sampai dilantiknya walikota dan wakil walikota terpilih nantinya.
(Penulis merupakan Pengamat Hukum Madani Institute dan Kabid Humas dan Jaringan PP LIDMI)
Dapatkan Berita Terupdate dari JBN Indonesia
Hak Jawab dan Hak Koreksi melalui email: jbnredaksi@gmail.com
- Pihak yang merasa dirugikan atas pemberitaan ini dapat mengajukan sanggahan/hak jawab.
- Masyarakat pembaca dapat mengajukan koreksi terhadap pemberitaan yang keliru.
Follow Instagram @jbnindonesia dan Fanspage JBN Indonesia
Hak Jawab dan Hak Koreksi melalui email: jbnredaksi@gmail.com
- Pihak yang merasa dirugikan atas pemberitaan ini dapat mengajukan sanggahan/hak jawab.
- Masyarakat pembaca dapat mengajukan koreksi terhadap pemberitaan yang keliru.
Follow Instagram @jbnindonesia dan Fanspage JBN Indonesia