Jakarta, JBN Indonesia , Balai Pemasyarakatan (Bapas) memiliki peran strategis dalam mendukung penegakan hukum yang lebih berorientasi dan fokus terhadap pemulihan keadaan pelaku, korban, dan masyarakat melalui implementasi Restorative Justice (RJ). Hal itu diungkapkan Sekretaris Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas), Heni Yuwono, dalam Panel Discussion Indonesia-Netherlands Legal Update di Hotel JS Luwansa, Jakarta, Rabu malam (21/9/2022).
Menurutnya implementasi RJ oleh bapas berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak telah berhasil mendorong penyelesaian perkara Anak di luar pengadilan (diversi) serta menurunkan jumlah putusan pidana penjara secara signifikan. Dengan demikian tingkat hunian dapat ditekan.
“Diversi dan putusan non penjara bagi Anak mengalami tren kenaikan. Dari situ dapat dilihat bahwa implementasi RJ yang dilakukan pemasyarakatan melalui penelitian kemasyarakatan (litmas), pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan berjalan dengan efektif,” ujar Heni.
Pada 2020 terdapat 3.558 perkara dengan diversi dan 1.272 putusan non-penjara bagi anak dan pada 2021 terdapat 2.370 diversi dan 1.753 putusan non-penjara bagi anak. Ia juga mengungkapkan saat ini terdapat beberapa kebijakan strategis yang tengah dilaksanakan oleh bapas seperti fungsi litmas yang dilakukan sejak pra hingga pasca adjudikasi, pendampingan dalam penerapan RJ, dan pelibatan masyarakat.
Selanjutnya, pembicara dari Saxion University of Applied Sciences (Saxion UAS) Belanda, Prof. Attila Nemeth, mengungkapkan bahwa di Belanda diberlakukan pidana alternatif dengan menugaskan terpidana untuk menjalani pidana sebagai petugas sosial. Jenis pidana tersebut menurutnya memberikan manfaat, salah satunya mengurangi anggaran dan tingkat hunian karena narapidana berada di luar. Dalam pelaksanaan pidana alternatif tersebut bapas di belanda memiliki peran yang penting.
“Di Belanda, bapas memiliki beberapa peran. Sementara itu dalam evaluasi yang dilakukan terhadap narapidana, bapas di belanda membagi narapidana dalam 15 golongan yang didasarkan data tiap narapidana ditambah dengan data survei,” ujar Attila.
Unit Manager of Reclassering Nederland, Ferry van Aagten, menyatakan bahwa diperlukan visi yang sama antar Aparat Penegak Hukum (APH) untuk dapat bekerja sama mencapai tujuan RJ. Menurutnya, resik yang ditimbulkan dari pidana penjara sangat besar, diantaranya merusak mental narapidana hingga kondisi keluarga narapidana yang menjadi tidak baik.
Sementara itu dalam sesi yang lain, Direktur Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak, Pujo Harinto, mengungkapkan bahwa meskipun saat ini setiap Aparat Penegak Hukum (APH) telah memiliki program keadilan restoratif, namun belum terdapat payung hukum yang terpusat. Setiap memiliki ketentuan atau persyaratan yang berbeda.
“Belum adanya payung hukum yang terpusat menjadikan pelaksanaan keadilan restoratif belum maksimal. Sehingga kami sangat mengharapkan adanya payung hukum yang jelas dan menjadi acuan seluruh APH,” ujar Pujo.
Berkaitan dengan Anak, Pujo juga mengungkapkan bahwa di Indonesia setiap Anak yang ada di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) tetap melanjutkan pendidikan.
“Pendidikan bagi Anak di LPKA tetap dilanjutkan seperti Paket A, Paket B, dan PAket C. Sehingga pendidikan Anak tidak akan terputus,” tambahnya.
Dalam hal Anak, Ferry van Aagten juga mengungkapkan hal yang sama. Meskipun Anak yang diberi pidana penjara hanya yang melakukan kejahatan yang terrlalu berat, Anak tersebut tetap mendapatkan pendidikan.
“Tidak hanya pendidikan, mereka juga akan diberikan bimbingan dan arahan terkait tindak pidana yang mereka lakukan. Sementara dalam pelaksanaan di bapas, Pembimbing Kemasyarakatan akan mendengarkan tanggapan dari tersangka dan juga korban,” ujar Ferry. (dz/joe)
Hak Jawab dan Hak Koreksi melalui email: jbnredaksi@gmail.com
- Pihak yang merasa dirugikan atas pemberitaan ini dapat mengajukan sanggahan/hak jawab.
- Masyarakat pembaca dapat mengajukan koreksi terhadap pemberitaan yang keliru.
Follow Instagram @jbnindonesia dan Fanspage JBN Indonesia